:::::: Kewajiban ku hanyalah menyampaikan ::::::

Kamis, 01 Februari 2018

Menimbang Kritikan Ustadz “(Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi) Kepada Ustadz Abdus Shomad,Lc.MA.


✍ Oleh: Ustad Abu Suhail Abdirrahman.

Dunia medsos diramaikan oleh kritikan seorang ustad-semoga Allah ﷻ menjadikan dia dan kita sebagai pengikut salaf yang sejati- yaitu Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi terhadap buku Ustadz Abdus Shamad  Hafizhahullah  yang berjudul “37 Masalah Populer”.

Saya baca sambil senyam-senyum, seolah Abu Ubaidah As-Sidawi sedang berperang fisabilillah, dengan mengatakan: “Bangkitlah wahai jiwa untuk membela agama Allah, walau akan banyak komen negatif yang akan kau hadapi.”

Seolah Ustadz Abdus Shamad dengan bukunya itu adalah musuh agama Allah yang harus diperangi. Abu Ubaidah As-Sidawi sudah siap di komen negatif, tapi ajaibnya, yang mendapatkan komen negatif di dunia medsos adalah justru Ustad Abdus Shamad, khususnya dari pendukung Abu Ubaidah As-Sidawi, seperti yang saya baca sendiri Ustad Abdus Shamad disebut pendusta, keledai, .. seyeem iih.

Lalu .. kata Abu Ubaidah As-Sidawi, dia tidak akan membantah detail, karena itu butuh berjilid-jilid buku, sebab satu masalah saja yang dibahas Ustad Abdus Shamad layak dibantah satu judul buku secara khusus

A. Masalah Aqidah.

1⃣  Kata Abu Ubaidah As-Sidawi, Ustad Abdus Shamad mengikuti metode tafwidh dan ta’wil dalam menyikapi tauhid asma’ wa sifat. Lalu kata Abu Ubaidah As-Sidawi, dua metode ini diingkari para salafush shalih.

Terus terang, saya mikir panjang ... ya gak panjang-panjang juga sih. Salaf mana yang dimaksud Abu Ubaidah As-Sidawi? Sebab, istilah “Tauhid Asma wa Shifat” sebagai sebuah nomenklatur pun  belum di kenal pada masa Salaf (terdahulu).  Istilah “Tauhid Rububiyah”, “Uluhiyah”, dan “Asma wa Sifat” baru ada di masa khalaf (terkemudian). Jika ada yang mengatakan pembagian tauhid itu sudah ada di masa salaf, bisa dipastikan dia dusta, atau ngigau.! 😊

TERUS, siapa dong yang pertama kali membagi seperti itu? Dalam majalah Nurul Islam, yang diterbitkan para masyayikh Al-Azhar Asy-Syarif (Rabi’u Tsani tahun 1352H), terdapat kritikan terhadap pembagian itu.

Al-‘Allamah Yusuf Ad-Dajwiy Al-Azhariy berkata:

قولهم: (ان التوحيد ينقسم الى توحيد الربوبية و توحيد الالوهية) تقسيم غير معروف لاحد فبل ابن تيمية و غير معقول ايضا كما ستعرفه ...

[Perkataan mereka bahwa sesungguhnya tauhid itu terbagi atas tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah, ini adalah pembagian yang tidak dikenal oleh seorang pun sebelum Ibnu Taimiyah dan juga tidak masuk akal sebagaimana yang akan anda ketahui..., dst.]

OKE LAH, masalah ini bukan fokus kita. toh dari sini juga sudah jelas, mungkin maksud Abu Ubaidah As-Sidawi salaf yang lain kali, tapi kalau Salafnya adalah Rasulullah ﷺ, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam empat madzhab, ya tidak ada yang mengenal istilah “Tauhid Asma wa Sifat” di masa itu. 😊

KEMBALI KE LAPTOP..., benarkah Ulama Salaf menolak Tafwidh?

Tafwidh itu, sederhanya ialah => mengembalikan makna sifat Allah ﷻ kepada Allah  ﷻ, Dialah yang tahu ilmu dan maknanya.

Apa yang dikatakan Ustad Abdus Shamad tidaklah salah, sebab Imam Al-Alusi  mengomentari surat Al-A’raf ayat 54:

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arsy”

Beliau (Imam Al-Alusi) berkata:

وأنت تعلم أن المشهور من مذهب السلف في مثل ذلك تفويض المراد منه إلى الله تعالى
           
“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab SALAF dalam hal seperti ini adalah tafwidh (menyerahkan) maksudnya kepada Allah Ta’ala.”

(Kitab Ruhul Ma’aniy, 8/136)

Dalam Ruhul Ma’ani  juga disebutkan:

قال اللقاني : أجمع الخلف ويعبر عنهم بالمؤولة والسلف ويعبر عنهم بالمفوضة على تنزيهه تعالى عن المعنى المحال الذي دل عليه الظاهر وعلى تأويله وإخراجه عن ظاهره المحال وعلى الإيمان به بأنه من عند الله تعالى جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم  ...

[ Al-Laqqani berkata, “Kaum khalaf -sering disebut orang-orang yang melakukan takwil- dan kaum salaf -sering disebut sebagai orang yang melakukan tafwidh- telah sepakat untuk mensucikan  Allah dari lafaz zhahir yang mustahil bagi Allah, menakwil dan mengeluarkan dari lafaz zhahir yang mustahil, serta mengimani bahwa hal itu adalah dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ. 

(Ruhul Ma’ani, 16/160)

Apa yang dikatakan Ustad Abdus Shomad TIDAK SALAH, sebab Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

" الْإِيمَانُ بِصِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَسْمَائِهِ " الَّتِي وَصَفَ بِهَا نَفْسَهُ وَسَمَّى بِهَا نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ وَتَنْزِيلِهِ أَوْ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَيْهَا وَلَا نَقْصٍ مِنْهَا وَلَا تَجَاوُزٍ لَهَا وَلَا تَفْسِيرٍ لَهَا وَلَا تَأْوِيلٍ لَهَا بِمَا يُخَالِفُ ظَاهِرَهَا وَلَا تَشْبِيهٍ لَهَا بِصِفَاتِ الْمَخْلُوقِينَ ؛ وَلَا سِمَاتِ المحدثين بَلْ أَمَرُوهَا كَمَا جَاءَتْ وَرَدُّوا عِلْمَهَا إلَى قَائِلِهَا ؛ وَمَعْنَاهَا إلَى الْمُتَكَلِّمِ بِهَا . وَقَالَ بَعْضُهُمْ - وَيُرْوَى عَنْ الشَّافِعِيِّ - : " آمَنْت بِمَا جَاءَ عَنْ اللَّهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللَّهِ "

“Beriman kepada Sifat Allah Ta’ala dan Nama-Nya yang telah Dia sifatkan diri-Nya sendiri, dan Dia namakan diri-Nya sendiri, di dalam Kitab-Nya dan wahyu-Nya, atau atas lisan Rasul-Nya, dengan tanpa penambahan atau pengurangan atasnya, tidak melampauinya, tidak menafsirkannya dengan apa-apa yang menyelisihi zhahirnya, tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk, dan apalagi dengan pembawa berita, TETAPI MEMBIARKAN SEBAGAIMANA DATANGNYA, DAN MENGEMBALIKAN ILMUNYA KEPADA YANG MENGUCAPKANNYA, dan mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya. Sebagian mereka berkata: -diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i- : Aku beriman dengan apa-apa yan datang dari Allah, dan yang datang dari Rasulullah Shllalalhu 'Alaihi wa Sallam dengan maksud dari Rasulullah.”

(Majmu’ Fatawa, 4/2)

USTAD ABDUS SHOMAD TIDAK SALAH. sebab Al-Imam Ibnu Hajar mengutip ucapan Ibnul Munayyar sebagai berikut:

وَلِأَهْلِ الْكَلَام فِي هَذِهِ الصِّفَات كَالْعَيْنِ وَالْوَجْه وَالْيَد ثَلَاثَة أَقْوَال : أَحَدهَا أَنَّهَا صِفَات ذَات أَثْبَتَهَا السَّمْع وَلَا يَهْتَدِي إِلَيْهَا الْعَقْل ، وَالثَّانِي أَنَّ الْعَيْن كِنَايَة عَنْ صِفَة الْبَصَر ، وَالْيَد كِنَايَة عَنْ صِفَة الْقُدْرَة ، وَالْوَجْه كِنَايَة عَنْ صِفَة الْوُجُود ، وَالثَّالِث إِمْرَارهَا عَلَى مَا جَاءَتْ مُفَوَّضًا مَعْنَاهَا إِلَى اللَّه تَعَالَى

[ Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat ini seperti ‘mata’, ‘wajah’, ‘tangan’, terdapat tiga pendapat:
Pertama, sifat-sifat Allah adalah dzat yang ditetapkan oleh pendengaran (wahyu) dan tidak mampu bagi akal untuk mengetahuinya.
Kedua, bahwa ‘mata’ adalah kinayah (kiasan) bagi penglihatan, ‘tangan’ adalah kinayah dari kekuatan, dan ‘wajah’ adalah kinayah dari sifat wujud. Ketiga, melewatinya sebagaimana datangnya, dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya kepada Allah Ta’ala.

(Kitab Fathul Bari, 13/390)

Imam Ibnu Katsir berkata tentang  surat Al-A’raf ayat 54 yang berbunyi: “Tsummastawa ‘alal ‘arsy” (kemudian Allah beristawa’/bersemayam di atas ‘Arsy).

Kata Imam Ibnu Katsir:

وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل

[ Sesungguhnya cara yang ditempuh oleh madzhab salafus shalih dalam hal ini, seperti Malik, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan lain-lain, dari kalangan Imam muslimin baik dahulu maupun sekarang. MEREKA MELEWATINYA (MEMBIARKAN) SEBAGAIMANA DATANGNYA dengan tanpa bertanya bagaimana, tanpa menyerupakan, dan tanpa mengingkari ]

(Tafsir Al-Quranil ‘Azhim/Tafsir Ibnu Katsir 3/ 427)

LAGI-LAGI USTAD ABDUS SHOMAD TIDAK SALAH. sebab Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya tentang hadits-hadits sifat lalu dia menjawab:

أمرها كما جاءت، بلا تفسير

“Biarkan saja sebagaimana datangnya, jangan tafsirkan.”

(Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’ 8/105)

Nah ... Ustad Abdus Shamad tidak salah ketika mengatakan bahwa SALAF ITU TAFWIDH, yaitu Tafwidhul ma’na ilallah, mengembalikan maknanya kepada Allah ﷻ.

Ini juga pendapat Syaikh Hasan Al-Banna Rahimahullah dalam kitab Al-‘Aqaid-nya (seorang Syaikh yang sangat dibenci oleh Abu Ubaidah As-Sidawi dan komunitasnya)..

Kata Imam Hasan Al-Banna Rahimahullah:

ونحن نعتقد أن رأي السلف من السكوت وتفويض علم هذه المعاني إلى الله تبارك وتعالى أسلم وأولى بالاتباع ، حسما لمادة التأويل والتعطيل ، فإن كنت ممن أسعده الله بطمأنينة الإيمان ، وأثلج صدره ببرد اليقين ، فلا تعدل به بديلا 

 [ Kami meyakini bahwa pendapat salaf yakni diam dan menyerahkan ilmu makna-makna ini kepada Allah Ta’ala adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, dengan memangkas habis takwil dan ta’thil (pengingkaran), maka jika Anda adalah termasuk orang yang telah Allah bahagiakan dengan ketenangan iman, dan disejukkan dadanya dengan salju embun keyakinan, maka janganlah mencari gantinya (salaf).”

(Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, Majmu’ Ar Rasail, Hal. 368. Al-Maktabah At-Taufiqiyah)

Ini juga dikatakan Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, yang berkata:

فإِنَّ أحدًا لا يعرفُ كيفيةَ ما أخبر الله به عن نفسه ، ولا يقف على كنه ذاته وصفاته غيره ، وهذا هو الذي يجبُ تفويضُ العلم فيه إِلى الله عزَّ وجلَ

[ Maka, sesungguhnya tak ada satu pun manusia yang mengetahui bagaimana caranya, tentang apa-apa yang Allah kabarkan tentang diri-Nya, dan tidak ada yang mengerti asal-Nya, Dzat-Nya, Sifat-Nya, selain diri-Nya; dan yang demikian itulah yang diwajibkan untuk menyerahkan (TAFWIDH) ilmu tentang hal itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”

(Mujmal I’tiqad A’immah As-Salaf Hal. 141)

JADI... kalau gitu, apa yang dimaksud Abu Ubaidah As-Sidawi .. “Bangkitlah wahai jiwa untuk membela agama Allah, walau akan banyak komen negatif yang akan kau hadapi.”??

Apakah para imam salaf ini telah merusak agama Allah karena pendapat Ustad Abdus Shamad sejalan dengan para imam itu ??

Oke deh .. ini dulu aja. tunggu babak kedua .. “Benarkah Salaf Tidak Pernah Ta’wil” !?

Share:

2 komentar:

  1. afwan dalilnya kok dipaksa-paksain gitu ya,, qiyasnya ngaur, terus diakhir-akhir tulisan sering bawa-bawa nama ulama dan jumhur, padahal gk ada bukti yang mendetail. belajar lagi yaaa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mengkritik tanpa membuktikan letak kesalahannya dimana, sama saja berbicara tanpa disertai dasar yang kuat, jangan ujub dan takabu yaaa..

      Hapus

Copyright © :::::: HAQQUL IMAN :::::: | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com