:::::: Kewajiban ku hanyalah menyampaikan ::::::

Rabu, 05 September 2018

Agar Tak Sempat Maksiat

oleh : Ustadz. Budi Ashari, Lc


Maraknya maksiat di generasi muda negeri ini nyaris menyentuh titik biasa dan lazim. Mereka telah matang biologisnya tetapi tunas iman belum lagi tumbuh. Berbagai pembentengan yang dilakukan oleh orangtua, sekolah dan negara tak lagi mampu melindungi mereka. Gelombang besar syahwat telah meruntuhkan benteng-benteng itu. Karena seberapalah kuatnya benteng tanpa iman.

Berbagai benteng yang sifatnya pengawasan fisik terus digulirkan. Tetapi pasti semua itu bersifat sementara. Karena manusia yang menciptakan sistem itu. Sehingga semua bisa diakali.

Setiap bicara tentang pembatasan generasi dari maksiat zina, benteng paling efektifnya adalah iman. Iman yang akan menghasilkan rasa selalu merasa diawasi oleh Allah membuat mereka tidak berani menyentuh garisnya walau tidak ada yang melihatnya.

Memang solusi inilah yang seharusnya terus ditanamkan sebelum masa mereka matang secara biologis tiba. Sehingga benar jika dikatakan bahwa obat itu ada dalam diri mereka sendiri. Ya, iman yang ada dalam dada mereka itulah yang menjadi benteng.

Tapi masalahnya banyak yang tidak memahami bagaimana iman ditanamkan. Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin mengkritik keras pengajaran iman versi filsafat. Berputar-putar, rumit, membingungkan, sebatas di otak dan ujungnya bisa tidak bertemu Tuhan. Sementara itulah yang bisa dirasakan dari kurikulum penanaman iman di negeri ini. Hanya sebatas di otak tidak di hati. Hanya sebatas dikenalkan tidak ditanamkan.

Tetapi bukan itu yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini.

Karena tetap saja, salah satu fitrah manusia yang harus disalurkan adalah syahwat kepada lawan jenis. Karenanya Al Quran melarang kerahiban,

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْإِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ

“Dan merekamengada-ngadakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendiri yang mengada-ngadakannya) untuk mencari keridhaan Allah.”(Qs. Al Hadid: 27)

Qotadah berkata: Rahbaniyyah atau kerahiban adalah menolak (menikahi) wanita dan menetap di gereja-gereja.

Rasulullah pun mengingatkan tidak ada kerahiban dalam Islam. Beliau juga menegur keras seseorang yang menekadkan diri untuk tidak menikah, “Demi Allah aku orang paling bertakwa di antara kalian.......dan aku menikahi wanita. Siapa yang membenci sunnahku bukan golonganku.” (Muttafaq alaih)

Dengan dalil-dalil tersebut, maka jelas bahwa kerahiban yang menahan syahwatnya kepada lawan jenis bertentangan dengan ajaran Islam. Syahwat kepada lawan jenis adalah fitrah yang tidak bisa dilawan. Untuk itulah Islam mengatur dengan hati-hati. Dan tidak membukanya kecuali hanya melalui: pernikahan.

Itu artinya, pembentengan generasi muda dari maksiat zina dengan menggunakan iman dan yang lainnya adalah tindakan sementara di usia awal mereka. Sementara sebelum mereka bisa membangun rumah tangga. Karena suatu hari mereka harus menikah untuk menyalurkan fitrahnya itu, yang dalam Islam bahkan merupakan bagian dari ibadah suami dan istri.

Kalau pembentengan dan penjagaan hanya sementara, maka tidak ada cara lain kecuali kita segera memikirkan pernikahan anak-anak kita.

Di sinilah hancurnya generasi muda kita yang berawal hancurnya konsep berumah tangga. Di satu sisi, syahwat mereka dibangkitkan sepanjang jalan, seluas media dan pergaulan. Di sisi lain, pernikahan usia dini disumbat. Maka, bukankah ‘wajar’ ketika mereka menyalurkan syahwat mereka dengan cara maksiat yang membuat para orangtua ketakutan dan negara kerepotan.

Konsep hancur itu telah berefek luas. Sampai memunculkan sebuah pemikiran yang hampir rata di masyarakat bahwa yang menikah di usia dini, hanya satu di antara dua: hamil sebelum nikah atau tidak berpendidikan.

Bahkan dengan jelas negara ini mengingatkan tentang pernikahan di usia dini yang dinyatakan sebagai penyebab banyak masalah.

Lengkap sudah...

Pantas maksiat menjamur...

Siapa yang bertanggung jawab?

Anda tahu jawabannya!

Dari sinilah kita tahu bahwa setelah upaya pembentengan, kita harus segera membahas tentang pernikahan usia muda anak-anak kita. Agar mereka tidak sempat berbuat maksiat.

Mari kita tengok sejarah kegemilangan Islam (rasanya sudah cukup kita berkata bahwa sejarah hanya masa lalu. Karena ia sepertiga Al Quran).

Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fathimah putri Nabi dalam usia 21 tahun dan 15 tahun

Harun Ar Rasyid, pemimpin paling hebat di dunia (seperti judul bukunya DR. Syauqi Abu Khalil), menikah pada tahun 165 H. Padahal ia dilahirkan pada tahun 150 H.

Berarti usianya baru 15 tahun...!!!???!!!

Perlu juga anda ketahui 5 tahun berikutnya ia dilantik menjadi khalifah dan ia menjadi khalifah paling sukses di dinasti Bani Abbasiyyah. Yang memimpin selama 23 tahun.

Sekarang silakan renungi yang dalam dan jujur, mana yang lebih hebat. Ali bin Abi Thalib dan Harun Ar Rasyid atau kita, usia dan karya kita hari ini? Baru setelah ini silakan bertanya bagaimana cara mencapainya.

Tulisan ini sengaja dihadirkan untuk menyadarkan bahwa sejarah kebesaran Islam melahirkan orang-orang yang berumah tangga di usia sangat awal. Karena Islam telah menyiapkan anak-anak dengan sangat serius sejak awal. Sehingga mampu berkarya sejak awal. Termasuk dalam urusan rumah tangga. Alangkah indah dan lengkapnya hidup kita, jika kita bisa menikmati kebesaran anak berikut cucu. Dan kita akan tinggalkan dunia dengan senyum indah melihat karya kita pada anak dan cucu.

Tapi apa daya, banyak yang menikah terlambat. Bahkan, mendorong anak-anaknya untuk menikah lebih terlambat lagi dengan segudang alat untuk menakut-nakuti tentang horornya dunia pernikahan.

Dan subhanallah, saya punya kisah sangat menarik. Saya bersyukur karena ketika tulisan ini sudah saya rencanakan, ternyata Allah pertemukan saya dengan seorang teman, senior saya ketika masih kuliah. Beliau menjadi direktur eksekutif sebuah sekolah Islam.

Di forum ilmu tersebut beliau memberi sambutan mengejutkan, “Orang yang ada di depan Anda ini dalam dua bulan lagi insya Allah akan menjadi kakek, padahal usianya belum genap 40 tahun. Anak saya yang pertama laki-laki sedang kuliah semester awal usianya 18 tahun dan sudah menikah. Dia juga telah hapal Al Quran berikut dua adiknya yang lain. Saya bertekad lima adiknya pun akan hapal Al Quran.”

Hafidzokumulloh, ya Usrotal Khoir...

Subhanallah, kisah sukses itu ada di samping kita.

Ini saya kisahkan karena keterbatasan ilmu dan akal kita menerima kisah-kisah jauh di zaman kebesaran Islam. Kita sering baru bisa menerima kalau ada contohnya hari ini. Maka, contoh sukses itu sudah ada di samping anda.

Di sisi lain pembahasan ini, saya sadar betul bahwa anak-anak muda kita sangat tidak siap berumah tangga.

Tapi sampai kapan kita terus mendendangkan lagu kesedihan tentang anak-anak kita yang tak kunjung siap dan tak kunjung kita siapkan.

Ayo bentengi mereka dengan iman

Ayo siapkan mereka untuk berumah tangga

Dan ayo sambut pernikahan indah mereka di usia awal

Agar mereka tak sempat maksiat!

Dan agar kita bisa menikmati karya pada anak berikut cucu, biidznillah...

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © :::::: HAQQUL IMAN :::::: | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com